Jumat, 14 Desember 2007

obesitas anak



Obesitas Anak :
Sindrom Metabolik Usia Dini

RACIKAN UTAMA - Edisi Mei 2007 (Vol.6 No.10), oleh andra
Obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di Indonesia. Susahnya, perubahan yang dilakukan harus secara sosial dan besar-besaran. Literatur kedokteran yang ada pun tidak ada yang dengan tepat mencantumkan bagaimana cara terbaik untuk melakukan perubahan di bidang ini

Lebih dari sembilan juta anak di dunia berusia enam tahun ke atas mengalami obesitas, lapor Dennis Bier dari Pediatric Academic Society (PAS). Sejak tahun 1970, obesitas kerap meningkat di kalangan anak, hingga kini angkanya terus melonjak dua kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun, bahkan meningkat tiga kali lipat pada anak usia 6-11 tahun. Dr. Damayanti R. Syarif, Sp.A(K) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta bertutur senada, dari penelitian yang dilakukan di empat belas kota besar di Indonesia, angka kejadian obesitas pada anak tergolong relatif tinggi, antara 10-20% dengan nilai yang terus meningkat hingga kini. Edukasi nutrisi anak pada orang tua terus digencarkan, mengingat negeri Indonesia masih memiliki fenomena paradoks pediatrik yang unik, jutaan anak mengalami malnutrisi, sementara di lain sisi jutaan anak pula yang mengalami obesitas. Faktor makanan ringan selain makanan rumah (jajan) diduga sebagai kambing hitam.
Definisi dan situasi obesitas
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), obesitas merupakan keadaan indeks massa tubuh (IMT) anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh kembang anak sesuai jenis kelaminnya. Definisi ini relatif sama dengan Institute of Medicine (IOM) di AS, sementara Center for Disease Control (CDC) AS mengkategorikan anak tersebut sebagai ‘overweight’. CDC berargumen bahwa seorang anak dikategorikan obesitas jika mengalami kelebihan berat badan di atas persentil ke-95 dengan proporsi lemak tubuh yang lebih besar dibanding komponen tubuh lainnya.
Sampai saat ini penyebab tingginya angka obesitas pada anak-anak, terutama di Indonesia, masih simpang siur. Banyak kalangan yang menduga kuat akibat pengaruh jajanan yang kurang sehat dengan kandungan kalori tinggi sehingga anak-anak cenderung lebih senang jajan daripada makan di rumah. Penelitian Damayanti juga menunjukkan bahwa obesitas kerap terjadi pada golongan anak yang lebih senang jajan. Sayangnya, penjelasan ilmiah mengenai hal ini masih simpang siur. Sampai saat ini para dokter harus puas dengan predikat ‘multikausal’ sebagai penyebab obesitas, keadaannya sangat multidimensional. Tidak hanya terjadi pada golongan sosioekonomi tinggi, sering pula pada sosioekonomi menengah hingga menengah ke bawah.
Obesitas pada anak juga secara otomatis meningkatkan angka kejadian Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. banyak hal yang –multiidimensional- yang menyebabkan anak menjadi obes, namun jalur metabolisme pada akhirnya akan menyebabkan imbalans energi, yakni ketidakseimbangan kalori yang masuk dengan kalori yang dihabiskan. DM tipe 2 yang sejak dulu menjadi langganan kaum tua, saat ini sudah menjamur merambah kalangan anak-anak.
Selain itu para ilmuwan juga sepakat bahwa obesitas pada anak cenderung terjadi akibat faktor lingkungan daripada faktor genetik. Alasan epidemisnya ialah dari tahun 1970-an hingga 2000-an merupakan waktu yang terlalu singkat untuk mengubah struktur genetik untuk menyebabkan perubahan pola prevalensi obesitas terkini. Obesitas akibat hiperlipidemia familial juga tidak menyebabkan angka yang sangat tinggi seperti saat ini.
Faktor sosial
Mafhum bagi kalangan medis bahwa obesitas pada anak telah menjadi masalah yang serius di Indonesia dan di dunia. Karena obesitas terjadi karena imbalans energi, maka pendekatan yang dilakukan ialah dengan menyeimbangkan pola makan dengan kebiasaan bermain atau berolahraga. Demikian kompleksnya tujuan ini untuk dicapai, perubahan yang dilakukan harus secara sosial dan besar-besaran. Literatur kedokteran yang ada pun tidak ada yang dengan tepat mencantumkan bagaimana cara terbaik untuk melakukan perubahan di bidang ini, dengan kata lain, masih dibutuhkan studi lebih lanjut di Indonesia tentang bagaimana mencegah obesitas sejak dini.
Menutup restoran cepat saji atau menertibkan tukang jajan di sekolah dasar tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan usaha dari pelbagai kalangan untuk melakukan perubahan yang benar-benar efektif, dari pemerintah, media massa, rakyat secara umum, sekolah, penyedia jasa kesehatan, peneliti, dan tentunya dari kalangan rumah alias orang tua.
Pemerintah sebagai penentu kebijakan berperan menetapkan aturan atau pembatasan makanan-makanan kurang sehat dengan kalori yang sangat tinggi serta berpotensi menimbulkan obesitas. Media massa memegang peranan yang amat luar biasa besar untuk mengkampanyekan bahayanya obesitas pada anak, di perkotaan Indonesia, tren ustadz atau pendeta sebagai guru sudah mulai tersingkir. Meskipun pengajian dan misa masih ramai pengunjung, tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat lebih patuh terhadap iklan dan tayangan televisi yang berlangsung hampir 24 jam sehari dengan kemasan yang sangat menarik. Gabungan pemerintah dan media massa untuk mendidik masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat merupakan alat yang sangat baik untuk membuat perubahan.
Kebiasaan-kebiasaan yang baik harus ditanamkan pada anak sejak dini. Para orang tua harus disiplin dan ‘tega’ mendidik anak untuk pergi sekolah jalan kaki atau naik sepeda daripada harus diantar jemput. Tidak baik untuk menuruti anak untuk sering makan di restoran cepat saji, budaya makan buah dan sayur harus sejak dini dibiasakan, dongeng-dongeng sebelum tidur ada baiknya kembali dibudayakan dengan cerita Popeye dan bayam atau cerita bagaimana proses sebuah telur bisa menjadi ayam goreng superbesar dengan lemak tebal dan kulit renyah khas restoran cepat saji.
Tak kalah pentingnya ialah peran sekolah untuk menambah jadwal olah raga dan menyediakan media yang lebih baik bagi anak-anak untuk ‘bermain’ dan berolahraga. Sekolah juga sebenarnya menjadi kunci untuk menertibkan puluhan pedagang yang menyuguhkan makanan-makanan sangat tidak sehat. Memang benar bahwa ‘jajan’ lebih tepat digolongkan sebagai kebiasaan, meski sudah dihalang-halangi bagaimana pun, anak-anak akan tetap mencari tukang jajan di mana-mana. Dengan demikian kampanye menghindari jajan harus sangat rutin digembar-gemborkan. Para ilmuwan sebenarnya juga menyarankan pada pihak sekolah untuk memberi waktu luang 30 menit perhari untuk melakukan aktivitas kardiovaskular.
Sindrom metabolik
Karena tingginya prevalensi obesitas pada anak dari hari ke hari, para ilmuwan semakin serius memikirkan akibat buruk dari keadaan tersebut, yakni terjadinya sindrom metabolik. Definisi entitas sindrom metabolik ialah terdapatnya resistansi insulin diikuti dengan minimal tiga dari gejala berikut, hipertensi, perubahan metabolisme glukosa, dislipidemia, serta obesitas. Karenanya, bisa saja seorang anak mengalami obesitas tapi belum tentu masuk kategori sindrom metabolik.
Meskipun definisi sindrom metabolik sudah relatif jelas terdeskripsikan pada orang dewasa, untuk menentukan pada anak merupakan cerita lain. Berdasarkan definisi Cook seorang anak dikategorikan mengidap sindrom metabolik jika memenuhi komponen berikut, lingkar perut yang lebih besar dari persentil ke-90 pada kurva usia, jenis kelamin, dan etnis; gula darah puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dl; tekanan darah yang lebih tinggi dari persentil ke-90 pada kurva usia dan tinggi badan; trigliserida puasa yang lebih besar dari 110 mg/dl; serta kolesterol HDL yang lebih rendah dari 40 mg/dl. Tentunya semua pemeriksaan ini sangat bersifat tersier dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit di Indonesia.
Prevalensi sindrom metabolik itu sendiri sangat berkaitan dengan obesitas pada anak. Weiss dkk menyebutkan bahwa 30% anak dengan obesitas sedang menderita sindrom metabolik. Sementara angkanya meningkat menjadi 50% pada anak dengan obesitas berat. Selain itu pada studi yang dilakukan Weiss ini terdapat kesimpulan lain yang melengkapi kejadian sindrom metabolik, yakni masalah utama terjadinya sindrom metabolik ialah resistensi insulin di jaringan, serta masalah kedua ialah anak yang obes akan mengalami peningkatan kadar C-reactive protein (CRP).
Meski banyak yang mendukung kesimpulan di atas, namun ada juga yang meragukan itu semua, dengan alasan bahwa glukosa darah merupakan status yang sangat mudah berubah. Bisa saja seorang anak mengalami gangguan toleransi glukosa, atau mungkin saja glukosa darah puasa terlihat normal namun sebenarnya tidak normal pada glukosa post-prandial. Resistensi insulin kembali dipertanyakan sebagai patogenesis terjadinya sindrom metabolik.
Pendapat terbaru menyebutkan bahwa pada anak yang obesitas didapati terdapat disfungsi endotel vaskular, apalagi jika didapati bahwa anak yang obesitas juga mengidap hipertensi. Melalui pemeriksaan USG Doppler pada arteri karotis, Sorof menunjukkan bahwa anak yang obes akan mengalami penebalan tunika intima-media. Tidak diketahui mengapa daerah ini menebal, namun diduga semuanya berkaitan dengan resistensi insulin, obesitas, sindrom metabolik, aterosklerosis, dan tentunya mengakibatkan hipertensi. Penelitian dari Rocchini tahun 1992 memberi hasil bahwa anak obes yang mengalami penurunan berat badan ternyata juga akan mengalami penurunan resistensi vaskular bersamaan dengan penurunan resistensi insulin. Dengan demikian resistensi insulin dan resistensi vaskular sebenarnya sangat berkaitan erat, meskipun tidak diketahui apa hubungannya.
Resistensi insulin dan resistensi vaskular memang penyebab utama sindrom metabolik. Namun sebenarnya masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan disfungsi endotel, di antaranya perubahan sistem renin-angiotensin-aldosteron, perubahan sistem saraf simpatis, dislipidemia, peningkatan kadar endotelin, bahkan inflamasi yang kronik. Bahkan studi yang akan datang mungkin akan mencari cara bagaimana menyekat jalur-jalur inflamasi yang dapat membantu mencegah kelainan vaskular yang ditemui di sindrom metabolik.
Obesitas dan asma
Berbicara tentang obesitas dan sindrom metabolik, sangat erat kaitannya dengan asma. Dengan definisi CDC bahwa kategori obesitas ialah BMI di atas persentil ke-95 dan overweight di antara persentil ke-85-95, sebuah studi dilakukan pada 406 anak-anak amerika dengan rata-rata usia 11 tahun. Dari survei tersebut diketahui bahwa anak-anak yang overweight akan cenderung lebih mudah terserang asma dengan frekuensi lebih dari satu kali serangan dibanding anak-anak normal. Digabung dengan hasil penelitian lainnya, terbukti bahwa anak-anak yang overweight memang cenderung mengalami serangan asma karena aktivitas mereka yang terbatas. Masih banyak kemungkinan lain yang mendasari hubungan antara asma dengan anak-anak yang overweight, dengan demikian masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut, termasuk untuk menetapkan bahwa terapi mengurangi asma pada anak ialah dengan menurunkan berat badan.
Di AS, Susan Woolford dari University of Michigan mengevaluasi peran obesitas dengan peningkatan jumlah pasien asma di rumah sakit. Penelitian ini menganalisis data nasional AS sejak tahun 2000. Sampelnya meliputi lama tinggal di rumah sakit dan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pada anak usia 1-18 tahun dengan perbandingan anak-anak obesitas dengan anak normal yang dirawat karena pneumonia dan asma.
Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak pengidap asma yang obesitas memiliki waktu tinggal rata-rata 3.26 hari sementara anak-anak pengidap asma yang tidak obesitas selama 2.32 hari (95% CI 2.97-3.54). Sementara anak-anak pengidap pneumonia yang obesitas akan memiliki waktu rawat sehari lebih lama (4.4 hari) daripada anak-anak yang tidak obesitas. Waktu rawat yang lebih lama tentu saja akan menghabiskan dana yang makin banyak untuk perawatan rumah sakit.
Selain itu penelitian lain dari Harvard menunjukkan bahwa orang tua dengan anak yang obesitas cenderung untuk mendidik putra-putrinya secara ketat berupa mengurangi porsi makan, berlatih olah raga bersama, mengurangi waktu menonton TV, mengurangi konsumsi makanan cepat saji, soda, serta meningkatkan konsumsi sayur, buah, dan waktu untuk makan bersama. Orang tua juga mengakui bahwa sebenarnya mereka berusaha mengurangi berat badan anak mereka demi menghindari ketakutan akan penyakit-penyakit lain yang mungkin timbul karenanya.
Reseksi gaster
Secara teoretis manajemen obesitas pada anak ialah dengan mengatur berat badan dan mengurangi indeks massa tubuh (IMT) dengan aman dan efektif beserta komplikasi jangka panjang dan pendek yang minimal. Sebaiknya terdapat tim dokter anak dengan psikiater untuk mengatur pola dan kebiasaan makan serta kemungkinan depresi. Terapi pun harus ditujukan kepada keluarga, terutama jika ingin mengubah pola makan. Peran orang tua dalam mengarahkan perilaku makan yang baik dan sehat sangat berperan besar.
Gaya hidup sangat penting diubah, menonton TV dan video games mutlak harus dikurangi, jalan kaki mesti dibiasakan setidaknya 20-30 menit perhari. Diet dilakukan dengan membatasi kalori secara seimbang, makanan yang mesti dihindari ialah makanan dengan lemak, makanan-makanan ringan, makanan cepat saji kemasan, termasuk kentang goreng French fries, pizza, serta biskuit. Berbeda dengan orang dewasa, diet yang direkomendasikan untuk anak dengan obesitas ialah diet normal yang seimbang seperti di atas. Diet sangat ketat kalori ternyata malah hanya akan meningkatkan jumlah drop out diet atau berbuntut depresi berat hingga ingin bunuh diri.
Saat ini intervensi bedah sudah dilakukan untuk orang dewasa dengan IMT melebihi 40 atau berat badan yang melebihi 100% berat badan ideal. Begitu juga pada anak, terapi bedah dapat dilakukan dengan prosedur paling sering ialah restriksi gaster. Gaster dikurangi volumenya sebesar 15-30 ml atau dibuat bypass dari gaster ke jejunum untuk mencegah absorpsi di duodenum. Cara ini relatif mengesankan, mampu menurunkan berat badan dengan signifikan, minimal komplikasi, serta meningkatkan angka harapan hidup. Sayangnya mortalitas operasi ini masih tergolong besar, yakni 1% pada orang dewasa. Selain itu, dari proses operasi masih mungkin pula terjadi komplikasi ensefalopati, nefrolitiasis, kolelitiasis, enteropati protein, serta defisiensi beberapa faktor nutrisi tertentu. Sebagaimana terapi bedah lainnya, cara ini baru dipikirkan kalau memang obesitas tersebut sudah menahun yang sangat parah dan tidak respon dengan berbagai cara.

Tidak ada komentar: